Negara Madinah
Madinah adalah kota yang menyimpan sejuta cerita. Pada abad ke 5 dan 6
M kota Madinah hanyalah tempat pelarian Yahudi dari kejaran tentara
Hadrianus dari Roma. Juga tempat pemukiman dua suku Arab, Khazraj dan
Aws.
Di kota ini kisah nabi-nabi berkembang bagai legenda tapi nyata.
Namun kelahiran Nabi Muhammad SAW seabad kemudian menjadi berita
gembira. Hijrahnya pun (tahun 622 M) disambut dengan suka cita.
Kota ini benar-benar mencintai dan dicintai Nabi. Saking cintanya
Nabi berdoa “Mudah-mudahan Madinah diberi rahmat Allah dua kali lipat
lebih banyak dari Makkah”. Allah pun memberi hadiah sebongkah taman
surga (RauÌah min riyadil jinan) di dalam masjidnya.
Mungkin ini rahasianya mengapa Nabi meramalkan bahwa nanti Dajjal
tidak akan masuk kota ini. Begitu istimewanya tempat ini – menurut hadis
Nabi yang lain – sehingga kota ini adalah kota terakhir yang akan
dihancurkan dari muka bumi di hari kiamat nanti.
Dan yang tidak kalah menariknya kota ini sebelumnya bernama Yathrib.
Buktinya dalam surah Madaniyah awal tempat ini masih disebut Yathrib
(lihat al-Ahzab: 13). Tapi delapan tahun setelah hijrah (sekitar tahun
630 M) Nabi menggantinya dengan nama Madinah (lihat surah Madaniyah
akhir al-Taubah: 120).
Setelah nama Yathrib diganti Madinah Nabi melarang para sahabatnya
untuk menggunakan nama Yathrib lagi. Entah mengapa. Tapi yang jelas Nabi
memberi nama setelah membangun tempat ini. Apa yang telah dilakukan
Nabi? kita lihat.
Sejak lantunan Tala‘a-l-badru menggema di seantero Yathrib, Nabi sudah mengantongi dukungan warga setempat.
Sejak lantunan Tala‘a-l-badru menggema di seantero Yathrib, Nabi sudah mengantongi dukungan warga setempat.
Al-Husseim bin Sallam, seorang rabi Yahudi Yathrib langsung memeluk
Islam. Jalan dakwah Nabi pun mulus tanpa paksaan. Tidak sampai satu
dasawarsa, sebanyak 15 kabilah masuk Islam dengan sukarela.
Langkah Nabi selanjutnya adalah: merajut ukhuwwah Islamiyah dan
mempersatukan Muslim dengan Yahudi dengan Piagam Madinah. Sebuah Negara
berkonstitusi pun terbentuk dengan kekuasaan dan kedaulatan penuh.
A.Von Kramer tidak salah ketika menyimpulkan “Muhammad membawa agama
baru dan sistem politik baru… dan menciptakan suatu perdamaian yang
harmonis”. D.B.Macdonald mengakui, di Madinah telah terbentuk Negara
Islam pertama. Thomas W. Arnold yang diamini Fazlur Rahman lebih
blak-blakan lagi “Di Madinah Nabi menjadi pemimpin agama dan kepala
Negara”.
Tapi anehnya Abdullahi Ahmad an-Naim yang Muslim tapi liberal itu
menolak kesimpulan itu. Padahal realitanya Nabi memang menjadi kepala
Negara dan memimpin perang.
Sebenarnya siapapun tidak bisa mangkir bahwa Madinah merupakan babak
baru sejarah Islam. Jadi, Madinah adalah post-faktum dari faktum-faktum.
Jika fakta sosial-historis bisa bias tafsir, kita pakai fakta-fakta
tekstual. Ternyata perubahan Yahtrib menjadi Madinah didahului oleh
perubahan kandungan wahyu.
Wahyu yang ketika di Makkah berkutat masalah tauhid, ibadah, alam
semesta, penciptaan, hari akhir dan sebagainya, di Madinah berubah ke
masalah ummah, ukhuwwah, jihad, kemanusiaan, keadilan, kemakmuran,
kekuatan dan sebagainya. Lebih berdimensi sosial-politik. Pendek kata,
di Madinah-lah tempat penerapan dan penyempurnaan konsep din yang turun
di Makkah itu.
Lalu mengapa pengganti Yathrib adalah Madinah?. Kajian sejarah
kotanya ternyata sama menariknya dengan sejarah kotanya. Kata “Madinah”
adalah bentuk (wazn) kata tempat (ism al-makan) dari kata din. Biasanya
kata tempat dibentuk dari kata kerja, maskan (tempat tinggal) misalnya
berasal dari kata sakana (tinggal).
Tapi untuk kata Madinah tidak demikian. Dalam Arabic English Lexicon,
karya Lane kata Madinah diletakkan dibawah entri din (agama).
Kata kerjanya adalah dina, yadin yang berarti taat, berserah diri,
menghamba, merendahkan diri [kepada Allah] dan menghitung. Ismnya adalah
din. Dintu lahu artinya saya taat kepadanya. Dina bi-l-Islami dinan
artinya menghamba pada Allah dengan memeluk agama Islam.
Dalam al-Qur’an jelas dinyatakan “Siapa yang lebih baik ketaatannya
(dinan) dari orang yang berserah diri kepada Allah” (Q.S. IV: 124). Kaum
pluralis sering memelesetkan ayat ini dan diartikan bahwa agama yang
baik adalah yang berserah diri, dengan agama apapun. Tentu plesetan yang
gagap filologi.
Dalam hadis Nabi dinyatakan “Orang cerdas adalah yang menghambakan
dirinya (pada Allah) dan mengerjakan sesuatu untuk hidup sesudah mati”
(al-kaysu man dina nafsahu wa ‘amil ma ba‘da al-maut). Atau dalam hadis
lain disebut “Barangsiapa menghitung [muhasabah] dirinya maka
beruntunglah dia (man dana nafsahu rabiha).
Disini din berarti taat dan berserah diri atau menghamba kepada
Allah. Dan menghambakan diri [yang benar] bagi Allah adalah melalui
agama Islam (inna-d-dina ‘indallahi al-Islam).
Dari kata kerja dana, yadin yang menjadi bentuk isim din itu juga
bisa dilacak dari kata dayn, artinya hutang. Kajian semantiknya,
beragama adalah rasa keberhutangan kepada Tuhan. Kalau dicek pada
ayat-ayat al-Qur’an tentu cocok.
Buktinya, Allah selalu menggunakan bahasa perdagangan dengan
hambaNya. Allah telah membeli diri dan harta orang-orang mukmin dengan
surga. (Taubah: 111). Barangsiapa memberi pinjaman kepada Allah suatu
kebaikan, akan Allah lipat gandakan pinjaman itu (al-Baqarah: 245;
al-Maidah: 12; al-Hadid: 11, 18; al-Taghabun: 17; al-Muzammil: 20), dan
banyak lagi.
Jadi beragama adalah proses membayar hutang kepada sang pencipta.
Inilah sebabnya mengapa dalam bahasa Arab Allah diberi julukan al-Dayyan
(literalnya Yang Memberi Hutang, tapi maknanya Yang Memberi Balasan
semua perbuatan). Sedangkan untuk makhluk, julukan itu tanpa alif lam
yaitu Dayyan yang berarti penguasa atau gubernur.
Disini beragama adalah proses membayar hutang kepada Allah dengan
amal kebaikan. Kecenderungan hidup berdasarkan aturan, sadar hukum, taat
pada penguasa hukum dan hakim (berserah diri) serta hidup secara
teratur adalah inti dari din. Itulah fitrah manusia dan inti
keberagamaan.
Beragama tidak bisa liberal dan liar. Secara filologi saja kata din
sudah menggambarkan sebuah struktur kehidupan yang sistemik. Secara
realita Madinah telah menjadi tempat untuk berserah diri, untuk mentaati
aturan, untuk menghamba serta membayar hutang kepada Allah dengan amal
kebajikan.
Tapi menariknya ternyata kata Madinah tidak berasal dari kata madana,
sebaliknya madana terbentuk setelah lahir kata Madinah. Sejarahnya
begitu. Maka dari itu kata madana dalam Arabic-English Dictionary
susunan Hans Wehr diartikan to found or build city; to civilize, to
humanize, to refine.
Persis seperti yang dilakukan Nabi. Tapi ketika Hans Wehr mengartikan
Madani menjadi secular, kita jadi bingung (confuse). Ini tentu dari
pengaruh doktrin gereja. Jika diluar gereja adalah kerja-kerja sekuler
(secular works), diluar masjid mestinya juga begitu.
Itu kira-kira pikiran Hans Wehr. Mungkin pengaruh ini pula para
cendekiawan Muslim menyamakan civil society yang sekuler itu dengan
masyarakat madani. Padahal madani adalah sifat orang berbudaya, beradab
dan maju dengan cara taat beragama alias menghamba pada Allah.
Dalam Kamus al-Munjid karangan Abu Luwis, kata tamaddana diartikan
berperilaku penduduk kota (ahlul mudun). Kalau mudun (jamak madinah)
diartikan kota tentu ini sekuler. Tapi jika diartikan sebagaimana makna
filologis diatas, tamaddana berarti berperilaku seperti penduduk madinah
yang berserah diri dan menghamba kepada Allah.
Oleh sebab itu tamaddana atau ber-tamaddun adalah hidup dengan din
yang benar sesuai dengan hukum dan aturan. Hukum atau aturan din Islam
adalah al-Qur’an. Kitab ini juga menyebut dirinya ma‘dubah (makanan),
yakni makanan jiwa dan akal. Ketika menjadi kata kerja addaba,
yu’addibu, ta’diban berarti mengajar disiplin dalam berpikir dan
berperilaku. Hasilnya adalah manusia beradab, yaitu yang beriman,
berilmu dan berbuat sesuai dengan apa yang ada dalam ma‘dubah atau
al-Qur’an. Itulah peradaban, tamaddun, Medeniyet, atau Madaniyat.
sumber : http://hamidfahmy.com
Komentar
Posting Komentar